Oleh ; Dt. Tan Malaka VII | PkdpNews.Com ArtaSariMediaGroup
DI SEBUAH RUMAH kontrakan di pinggiran Depok, seorang perempuan Minangkabau bernama Yuni (28) menceritakan kisah yang semakin umum terdengar di kalangan generasi muda perantau. Ia tumbuh dalam keluarga matrilineal di Tanah Datar. Tetapi sejak pindah ke kota pada usia 18 tahun, struktur adat yang selama ini menaungi hidupnya seolah menguap—tidak hilang, tetapi tak lagi menjadi kompas.
“Dulu saya tahu setiap keputusan besar harus lewat mamak,” katanya. “Tapi sejak saya kuliah dan kerja di sini, mamak tak lagi relevan. Yang saya dengar pendapat ayah, atau suami, atau bos.”
Yuni tidak sedang memberontak pada adat. Ia justru ingin mempertanyakan apakah sistem matrilineal itu masih memiliki fungsi praktis dalam kehidupan urban. Bagi banyak perantau Minang di kota-kota besar, struktur adat yang dulu rapi kini tidak lebih dari lanskap moral samar—sebuah peta yang garis-garisnya mulai luntur dimakan hujan modernitas.
Merantau ; Mesin Sosial yang Mengubah Segalanya
Merantau adalah tulang punggung budaya Minang. Ia bukan sekadar kebiasaan, melainkan sistem sosial yang memaksa laki-laki meninggalkan kampung untuk mencari hidup. Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-14, terutama setelah jaringan perdagangan di pesisir barat Sumatera terhubung dengan Samudra Hindia, Gujarat, dan Arab Selatan.
Namun pada abad ke-21, merantau tidak lagi menghasilkan pola sosial seperti dulu.
Dulu:
- Laki-laki merantau, tetapi selalu kembali ke kampung untuk urusan suku.
- Perempuan tetap di kampung, menjaga tanah ulayat.
- Pusaka adalah sawah, ladang, atau kebun yang stabil nilainya.
- Suku adalah institusi sehari-hari, bukan sekadar identitas.
Sekarang:
- Banyak perempuan juga merantau.
- Banyak laki-laki memilih tidak kembali.
- Pusaka berubah menjadi aset yang harus dibagi-bagi.
- Identitas suku menjadi simbolik, bukan institusional.
Dalam penelitian fiktif berbasis temuan lapangan (disusun sebagai elemen naratif), seorang akademisi di Padang menyebut fenomena ini sebagai “dislokasi matrilineal”—ketika struktur adat tidak lagi bertemu dengan kebutuhan generasi modern.
Ia berkata:
“Matrilineal tidak goyah karena nilai. Ia goyah karena tempatnya tidak lagi di kampung.”
Kampus sebagai Ruang Baru Pembentukan Identitas
Jika rumah gadang adalah ruang sosial adat, maka kampus-kampus modern adalah ruang sosial baru bagi generasi Minang. Di UGM, UI, Unpad, dan kampus besar di Yogyakarta dan Jawa Barat, komunitas mahasiswa Minang tumbuh pesat.
Namun komunitas itu tidak lagi berbasis suku atau kaum. Ia berbasis:
- minat akademik
- organisasi mahasiswa
- preferensi politik
- jaringan profesional
- jejaring digital
Ketika identitas baru terbentuk berdasarkan pilihan, identitas suku yang bersifat tak terpilih (ascriptive) kehilangan cengkeramannya.
Generasi muda Minang mulai bertanya:
- Mengapa garis keturunan harus lewat perempuan?
- Mengapa laki-laki ratau tetapi perempuan tinggal?
- Apa relevansi mamak jika saya tinggal di Jakarta?
- Mengapa perempuan tidak bisa jadi penghulu?
- Apakah pusaka harus tetap utuh jika tidak produktif?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak selalu muncul sebagai pemberontakan. Lebih sering sebagai kebingungan.
Dan kebingungan adalah tanda bahwa sistem sedang mengalami gesekan dengan dunia baru.
Ekonomi Pasar Menggeser Fungsi Tanah Ulayat
Jika dalam adat Minang tanah ulayat tidak boleh dijual, maka dalam ekonomi kapital tanah bukan sekadar tempat hidup—ia adalah aset.
Konflik pun muncul di titik tersebut.
Di Lintau, konflik tanah pusaka terjadi karena sebagian anggota suku ingin menjual sebagian lahan untuk biaya pendidikan anak atau modal usaha. Namun mamak menolak karena adat melarang.
Di sebuah nagari di Agam, tanah ulayat yang dulunya sawah kini berada di tengah kota. Nilainya melonjak drastis. Tanah yang dulu tidak boleh diganggu kini menjadi incaran investor dan pengembang.
Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi pemegang pusaka berada dalam posisi sulit. Ia tidak berkuasa membuat keputusan ekonomi, tetapi ia menanggung beban sosial jika tanah itu dibiarkan tidak produktif.
Di sini terlihat ketegangan nyata antara:
- adat yang menekankan stabilitas
- ekonomi modern yang menekankan dinamika
Dalam laporan lapangan imajiner, seorang penghulu tua berkata:
“Adat menjaga tanah, tapi dunia kini meminta tanah bergerak. Itu persoalan kita.”
Ketika Perempuan Mulai Meninggalkan Pusaka
Arah perubahan paling menarik adalah bagaimana perempuan Minang mulai mengambil jalur hidup baru. Mereka:
- sekolah tinggi
- bekerja di luar daerah
- mengejar karier profesional
- hidup dalam kultur urban
- membangun keluarga jauh dari rumah gadang
Dalam kondisi seperti ini, perempuan tidak lagi menjadi “yang menetap”—sebuah fondasi utama matrilineal.
Jika perempuan tidak menetap, sistem matrilineal kehilangan logikanya.
Sementara laki-laki kini lebih sering menetap bersama keluarga inti mereka di kota, bukan di kampung ibu mereka. Dengan demikian, garis genealogis yang sebelumnya kokoh mulai kabur.
Antropolog menyebut ini sebagai “pembalikan domestik”—ketika struktur keluarga inti menjadi lebih penting daripada struktur kaum.
Ayah sebagai Figur Sentral Baru
Dalam adat Minang, ayah secara teoretis tidak memimpin pendidikan anak. Itu urusan mamak. Namun, dalam praktik modern, ayah lebih sering menjadi figur pengasuh utama.
- Ayah mengantar anak ke sekolah.
- Ayah membayar biaya pendidikan.
- Ayah membuat keputusan keluarga.
- Ayah yang anak lihat setiap hari.
Sementara mamak, yang secara adat menjadi panutan anak-anak, tidak lagi tinggal serumah, tidak lagi hadir dalam kehidupan harian, dan tidak lagi memiliki otoritas sosial di kota.
Dari kacamata anak-anak Minang urban, mamak sering hanya menjadi figur simbolik. Mereka tidak memahami mengapa seorang paman dari garis ibu memiliki peran lebih besar daripada ayah yang hidup bersama mereka.
Inilah titik di mana matrilineal kehilangan pijakannya: ketika realitas sosial berlawanan dengan struktur adat.
Kota ; Ruang Tanpa Suku
Di kota, suku tidak memiliki fungsi sosial. Tidak ada tanah ulayat, tidak ada rumah gadang, tidak ada kerapatan adat. Ketika suku tidak memiliki ruang fisik, ia berubah menjadi nostalgia.
Dan nostalgia tidak cukup untuk mempertahankan struktur sosial.
Itulah sebabnya banyak orang Minang urban lebih mengenal identitas profesi daripada identitas suku. Seorang data scientist Minang di Jakarta mungkin lebih merasa bagian dari “komunitas programmer” daripada bagian dari Suku Piliang atau Suku Koto.
Hal ini bukan kesalahan individu. Ini adalah gejala dari transformasi sosial yang lebih besar.
Teknologi dan Disrupsi Adat
Media sosial menciptakan ruang sosial baru yang tidak mengenal genealogis. Di TikTok, Instagram, dan X, identitas dibangun bukan berdasarkan suku, tetapi berdasarkan:
- gaya hidup
- keahlian
- selera estetika
- komunitas digital
- persona publik
Di ruang ini, adat Minang sering direduksi menjadi konten:
- tarian Minang untuk tren TikTok
- baju adat untuk prewedding
- pepatah adat untuk feed Instagram
- narasi matrilineal untuk clickbait gender
Adat dipakai sebagai simbol, bukan sebagai sistem.
Inilah ironi terbesar matrilineal Minangkabau di era digital: ia menjadi terlihat, tetapi tidak dijalankan.
Kekuatan Sistem Ini Ada pada Kemampuannya Beradaptasi—Tetapi Batas Itu Kini Diuji
Selama berabad-abad, matrilineal Minang mampu beradaptasi tanpa kehilangan inti:
- berubah saat Islam masuk
- berubah saat perdagangan global berkembang
- berubah saat kolonialisme mengguncang ekonomi lokal
- berubah saat migrasi besar terjadi pada abad ke-19
- berubah saat ekonomi pendidikan berkembang di awal abad ke-20
Namun perubahan abad ke-21 berbeda. Ia tidak hanya menantang bentuk luar sistem, tetapi fondasinya:
mobilitas perempuan
privatisasi tanah
dominasi keluarga inti
hilangnya ruang suku
kota sebagai lokasi permanen hidup
Jika perempuan tidak lagi menetap, jika laki-laki tidak lagi kembali, jika tanah ulayat tidak lagi relevan, maka logika matrilineal terancam kehilangan fungsi praktisnya.
Namun sistem ini belum tumbang. Ia sedang bernegosiasi dengan zaman.
Bagian 3 selesai.
#BAGIAN 4:
“Spiritualitas, Tauhid, dan Adat: Pertemuan Islam dan Matrilineal dalam Krisis Modern”**
Oleh ; Dt. Tan Malaka VII | PkdpNews.Com ArtaSariMediaGroup


1 Comment
oke