PKDPNews.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Batombe merupakan tradisi lisan dari Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari, Kabupaten Solok Selatan, Propinsi Sumatera Barat.
Demikian dilansir dari journal.isi-padangpanjang.ac.id, Tradisi lisan ini berupa berbalas pantun yang dilakukan saat acara hajatan.
Paralel dengan pembahasan Batombe, pada laman kebudayaan kemdikbud.go.id/bpnbsumbar yang ditulis oleh Firdaus Marbun,batombe sendiri berasal dari kata ‘ba’ dan ‘tombe’. ‘ba’ pada bahasa Minangkabau merupakan awalan kata sedangkan ‘tombe’ berarti pantun sehingga dalam bahasa Indonesia ‘batombe’ bermakna berpantun.
Kesenian berbalas pantun ini diiringi alat musik rabab yang dimainkan oleh dua orang laki – laki dan perempuan. Para pemain disebut dengan pendendang. Biasanya pendendang utama merangkap sebagai pengiring.
Dendangan pantun dalam kesenian batombe biasanya merupakan ungkapan perasaan dan cerita perjalanan hidup seperti cinta, sedih, semangat dan lain-lain. Pantunnya mengandung kata kiasan dan melepaskan hasrat hati.
Sesuai dengan namanya, kesenian berpantun ini dilaksanakan dengan cara berbalas pantun antar individu dan antar kelompok.
Tombe sendiri dalam bahasa abai mempunyai tiga makna, yaitu tiang atau tegak, musyawarah atau mufakat, dan bersatu.
Firdaus Marbun menjelaskan, tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini muncul. Menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat, tradisi ini muncul pada saat gotong royong membangun rumah gadang atau masjid.
Pada masa lalu gotong royong memang kerap dilakukan baik dalam pembangunan nagari [kampung], pembangunan rumah gadang serta pembangunan masjid.
Konon, di saat warga sedang mengambil kayu ke hutan untuk keperluan tiang, ada satu ketika kayu yang sudah ditebang tidak bisa diangkat bahkan sama sekali tidak bisa digeser. Berbagai usaha telah mereka lakukan, kayu tersebut tetap tidak bisa diangkat.
Dalam kondisi putus asa, tiba-tiba para perempuan yang memang bertugas untuk menyiapkan bekal mencari cara untuk memberi semangat kepada kaum pria yang sedang susah payah mencari cara untuk memindahkan kayu.
Secara spontan mereka mulai berpantun yang kemudian dibalas oleh para pekerja pria. Tanpa disadari kayu yang tadi tidak bisa digeser kemudian sedikit demi sedikit bergeser dan bisa dipindahkan ke lokasi pembangunan rumah.
Selanjutnya, balas pantun berkembang dalam berbagai kegiatan-kegiatan bersama hingga akhirnya menjadi satu tradisi dalam perhelatan.
Secara teknis, menurut Firdaus Marbun pemilik acara perhelatan ini disebut dengan Sipangkalan yang bertanggungjawab mempersiapkan segala pertunjukan mulai dari tempat pelaksanaan, mengundang warga, dan membicarakan izin dan teknis pelaksanaan dengan penghulu.
Sipangkalan juga menentukan pendendang serta menyiapkan peralatan yang dibutuhkan.
Biasanya melibatkan warga kaum dengan sepengetahuan penghulu. Untuk memastikan segalanya berjalan lancar, persiapan dimulai sejak jauh-jauh hari.
Dimulai dengan rapek awak, mengundang rajo tigo selo, alim ulama, cerdik pandai untuk meminta izin. Pertemuannya disebut dengan duduak urang tuo.
Dalam pelaksanaan, biasanya para pendendang tidak mempunyai panduan atau teks pantun tapi mengalir dengan spontan. Iringan musiknya juga cenderung monoton.
Satu hal yang menarik dari kesenian ini adalah lantunan pantun yang seringkali menggambarkan keadaan faktual sehingga penikmat suka dengan pertunjukan batombe dan betah berlama-lama menyaksikannya.
Kesenian batombe juga sering melibatkan orang lain atau penonton dalam balas pantun.
Lebih jauh dijelaskan Firdaus Marbun, Tidak ada batasan usia untuk bisa menjadi seorang pendendang.
Dari remaja hingga orang tua, jika punya persediaan pantun yang banyak bisa menjadi pendendang. Tidak ada pendidikan khusus untuk bisa menjadi seorang pendendang.
Dendang batombe biasanya dipelajari dari kebiasaan seseorang menonton pertunjukkan batombe dan mencoba mempraktekkannya.
Belajar lebih banyak dilakukan melalui kegiatan-kegiatan batombe dalam perhelatan. Sementara pemain musik atau pengiring biasanya terbatas pada laki-laki karena lebih akrab dengan alat musik.
Seiring berjalannya waktu, batombe telah berkembang dalam berbagai acara seperti perkawinan, pembangunan rumah, memasuki rumah, batagak penghulu dan menyambut tamu.
Perkembangannya juga diikuti modifikasi assesories dan musik pengiring disesuaikan dengan kondisi masyarakat terkini dan keinginan para penikmatnya.
Fungsinya untuk membangkitkan semangat pada masa lalu dan tentunya juga sebagai hiburan masyarakat. Pantun batombe juga semakin beragam mengikuti kemajuan zaman. | PKDPNews.Com | kbrn | *** |
1 Comment
mantap